hujan

top

SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA

ngiklan yuk

Hujan Batu Lalu

Ingatkah kau? saat rindu membatu hujan bulan itu saksi bisu sendu

Aku terpaku selayak batu dengan hujan batu kali itu perih, seribu luka tergores
membuka sakit, lama racun ribuan genderang kala itu membajak hatiku milyaran bintang tiada terangi gelap hati semilu
sendu Yogyakarta, 22 Mei 2009
Selengkapnya...

IDOLA

wajahnya berseri,
misteri
menatap
aku begini
kau begitu
Mungkinkah?
Ah, ya hanya luka
Kadang agamis
Kadang komunis
mau apa kau kumis
bikin muak bibir tipis
Jauh.
Yogyakarta, 26 Mei 2009
Selengkapnya...

KEBEBASAN

Aku terkurung diantara perisai
Terbingkai dinding membiru dan membatu kaku
Antara perahu karet dan kata-kata tua
Aku berjalan melawan arus
Bermandi peluh nan berdarah
memerah
Sejiwa dengan asa bergejolak, tetap
Antara ada dan tiada
Aku ingin bersuara
Terhenyak diantara gunung yang melotot
Terpental
Liar.
Selengkapnya...

Makalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan gejala komunikasi bahasa sebagai gejala komunikasi. Bahasa karya sastra bukan merupakan wujud material tetapi merupakan gejala yang mengandung sesuatu yang lain. Dalam menganalisis karya sastra untuk mendapatkan makna sepenuhnya dari karya sastra tersebut tidak boleh lepas dari konteks sejarah dan konteks sosial budayanya karena karya sastra tidak lahir dalam situasi yang kosong budayanya (Teeuw, 1980:11) termasuk dalam situasi sastranya. Dalam hal ini sebagai sifat hakiki sastra yakni sifat kreatif sastra, karya sastra yang timbul kemudian diciptakan mendampingi ciri-ciri dan estetika. Karya sastra, apapun bentuknya hakikatnya merupakan pandangan , gagasan, ide atau pengalaman pengarang. Dengan karya itu pengarang bermaksud agar masyarakat pembaca merasakan pula apa yang dialaminya. Karya sastra dapat di apresiasikan atau diteliti. Novel adalah salah satun jenis karya sastra yang menawarkan model kehidupan pada diri penbaca dalam bentuk cerita. Menurut Tarigan ( 1993:18-164 ). Novel adalah sebuah eksplorasiatau satu kronik penghidupan, merenungkan dan melukiskan dalam bentuk tertentu, pengaruh ikatan, kehancuran atau tercapainya gerak-gerik hasrat manuasia. Karya sastra dilahirkan karena dipengaruhi oleh karya sastra lain yang telah ada sebelumnya (Pradopo, 2002: 223). Seorang pengarang di dalam menciptakan sebuah karya sastra tidak terlepas dari hasil-hasil karya orang lain. Karya sastra yang ditulis lebih kemudian, biasanya mendasarkan diri pada karya-karya lain yang telah ada sebelumnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, baik dengan cara meneruskan maupun menyimpangi konvensi. Oleh karena itu, karya sastra dapat dipahami setelah dikaitkan dengan teks yang lain. Karya sastra dari waktu ke waktu mengalami perkembangan yang pesat. Perkembangan ini menyebabkan pembaca sering menemukan adanya persamaan-persamaan antara karya yang satu dengan yang lain termasuk novel. Persamaan-persamaan yang ditemukan menimbulkan pertanyaan bagi pembaca dan menarik untuk dibahas. Oleh karena itu pembaca mengadakan usaha perbandingan untuk menemukan titik temu dari pertanyaan yang muncul tersebut dengan permasalahan yang ada. Prinsip intertekstual merupakan salah satu sarana pemberian makna kepada sebuah teks sastra. Hal ini mengingat bahwa sastrawan itu selalu menanggapi teks-teks lain yang ditulis sebelumnya. Dalam menghadapi teks itu penyair mempunyai pikiran-pikiran, gagasan-gagasan dan konsep estetik sendiri yang ditentukan oleh horizon harapannya, yaitu pikiran-pikiran, konsep estetik dan pengetahuan tentang sastra yang dimilikinya. Semuanya itu ditentukan oleh pengetahuan yang didapat olehnya yang terlepas dari pandangan-pandangan dunia dan kondisi serta situasi aman. Prinsip intertekstial ini mendapatkan para sastrawan di tengah-tengah arus sastranya maupun sastra dunia. Ia selalu menanggapi, meresapi dan menyerap karya sastra lain dan menstransformasikannya kedalam karya sastranya. Dengan demikian, ia selalu menciptakan karya sastra asli dalam menstransformasikan teks lain itu sipengarang mengolah dengan pandangannya sendiri. Tujuan kajian intertekstual adalah untuk mendapatkan makna dari suatu teks sastra dan mencari kesamaan yang bertentangan antar teks untuk mengetahui apakah ada kemunduran atau perkembangan suatu karya sastra. Hal tersebut mendorong penulis untuk membahas novel “Di Bawah Langit” karya Opick ‘Tombo Ati’ dan Taufiqurrahman Azizi yang memiliki hubungan dengan surat Al-Baqarah ayat 188 dan Surat An-Nisa ayat 105 B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana hubungan intertekstualitas surat Al Baqarah ayat 188 dalam novel “Di Bawah Langit” karya Opick ‘Tombo Ati’ dan Taufiqurrahman Azizi? 2. Bagaimana hubungan intertekstualitas surat An-Nisa ayat 105 dalam novel “Di Bawah Langit” karya Opick ‘Tombo Ati’ dan Taufiqurrahman Azizi? C. Tujuan Tujuan yang ingin dicapai dalam makalah ini adalah sebagai berikut : 1. Mengetahui hubungan intertekstualitas surat Al Baqarah ayat 188 dalam novel “Di Bawah Langit” karya Opick ‘Tombo Ati’ dan Taufiqurrahman Azizi. 2. Mengetahui hubungan intertekstualitas surat An-Nisa ayat 105 dalam novel “Di Bawah Langit” karya Opick ‘Tombo Ati’ dan Taufiqurrahman Azizi. BAB II LANDASAN TEORI Intertekstualitas pertama kali dikembangkan oleh peneliti Prancis Julia Kristeva, memiliki arti bahwa setiap teks sastra dibaca dan harus dibaca dengan latar belakang teks lain. Tidak ada satu tekspun yang sungguh-sungguh mandiri dalam arti bahwa penciptaan dan pembacanya tidak dapat dilakukan tanpa adanya teks-teks lain sebagai contoh, teladan dan kerangka. Tidak dalam arti bahwa teks baru hanya meneladani teks lain atau mematuhi kerangka lain yang telah diberikan lebih dahulu. Tetapi dalam arti bahwa dalam penyimpangan dan transformasi pun model teks yang sudah ada memainkan peranan yang penting. Pemberontakan atau penyimpangan mengandaikan adanya sesuatu yang dapat diberontaki ataupun disimpangi. Dan pemahaman teks baru memerlukan latarbelakang pengetahuan tentang teks-teks yang mendahuluinya. ( Teeuw,1988: 145 ) dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa dalam suatu teks, baik prosa maupun puisi tentu memiliki keterkaitan dengan teks lain. Intertekstual secara luas diartikan sebagai jaringan hubungan antar satu teks dengan teks lain. Interteks dapat dilakukan antara novel dengan novel, novel dengan cerpen, novel dengan mitos, puisi dengan puisi dan lain-lain. Hubungan interteks itu menunjukkan adanya hubungan persamaan dan pertentangan dalam hal konsep estetik dan pandangan hidup yang berlawanan (Pradopo, 2002:229). Julia Kristeva (Culler, 1977 : 193) mengemukakan bahwa setiap teks itu adalah mosaik kutipan-kutipan yang merupakan penyerapan dan transformasi teks-teks yang lain. Sebuah karya (tulisan) menjadi hipogram diserap dan ditransformasikan kedalam teks sastra sesudahnya. Teks yang menyerap dan menstransformasikan merupakan hipogram yang terkait dapat disebut sebagai teks transformasi. Prinsip intertekstualitas yang utama adalah memahami dan memberikan makna. Karya sastra yang bersangkutan itu diprediksi sebagai reaksi, penyerapan atau transformasi dari karya-karya yang lain. Hubungan intertekstual bukan hanya sekedar pengaruh, ambilan atau jiplakan, melainkan bagaimana penulis memperoleh makna sebuah karya sastra secara penuh dengan karya lain yang menjadi hipogramnya. Yang terpenting dalam prinsip intertekstual adalah prinsip pemahaman dan pemberian makna teks sendiri tanpa mempersoalkan saduran atau tuturan, melainkan setiap teks merupakan peresapan, penyerapan dan transpormasi teks lain. Oleh karena itu, berlaku prinsip bahwa untuk memperoleh makna sebuah teks dengan lebih baik, harus dibicarakan dalam kaitanya dengan teks yang menjadi hipogramnya. Teeuw (1983: 69) menguraikan prinsip intertekstual dengan lebih luas. Essensi intertekstual menurut Teeuw ini adalah interpretasi sebuah teks sastra baru secara tuntas dan sempurna, karena teks sastra baru mendapat makna penuh sebagai sistem tanda dalam kontrasnya dengan hipogramnya. Karya sastra yang baru tersebut dipandang sebagai tulisan sisipan atau cangkokan pada kerangka karya sastra pendahulunya (Hartoko dan Rahmanto, 1986: 67). Riffaterre mengemukakan bahwa karya sastra yang dijadikan kerangka bagi penulisan karya yang berikutnya disebut hipogram (dalam Nurgiyantoro, 2002: 51). Istilah tersebut sering diterjemahkan menjadi latar, yaitu dasar bagi penciptaan karya lain walaupun mungkin tidak secara eksplisit. Karya pendahulu yang melatari atau menjadi hipogram karya berikutnya inilah yang menjadi fokus penelitian intertekstual. Melalui penjajaran karya sastra yang satu dengan karya sastra lain yang menghipogrami, maka karya sastra yang bersangkutan dapat dipahami secara penuh. Adanya hubungan antara karya sastra yang satu dengan karya sastra yang lain mungkin disadari oleh pengarangnya, tetapi mungkin juga tidak disadarinya (Ahmad, 1988: 12). Kesadaran pengarang terhadap karya sastra lain yang menjadi hipogramnya mungkin berupa sikap pengukuhan tradisi, atau penolakan tradisi sebelumnya. BAB III PEMBAHASAN A. Sinopsis Novel “Di Bawah Langit” karya Opick ‘Tombo Ati’ dan Taufiqurrahman Azizi Di sebuah pesisir laut yang menamai desanya Glagah hiduplah seorang ahli ibadah yang disanjung dan menjadi panutan bagi masyarakat. Ia adalah simbol kebijaksanaan dan tempat bertanya warga akan semua permasalahan hidup yang mereka hadapi, warga memanggilnya Kyai Ahmad. Ia menganggat anak yang bernama Jaelani, dua tahun lebih tua dari anak kandung semata wayangnya yang bernama Maisaroh. Kemudian ia mengangkat Gelung sebagai anaknya setelah menemukannya pingsan di tepi pantai. Beberapa anak yang tidak jelas juga ia angkat sebagai anak dan ia rawat dengan kasih sayang dan pendidikan agama. Setelah kepergian Kyai Ahmad, anak-anak asuh itu dirawat Maisaroh dan suaminya Jaelani. Mereka tinggal bersama dirumah almarhum Kyai Ahmad kecuali Gelung yang memilih pergi setelah kecewa dengan keputusan Kyai Ahmad yang menjodohkan Maisaroh orang yang dia cintai dengan Jaelani. Keputusasaan Gelung menjadikannya seperti orang gila namun tetap teguh menjaga agamanya, bahkan sikap gilanya itu membuat warga menjadi agak sedikit musyik dengan kemampuan Gelung yang mampu membaca alam. Musim yang bagus namun dengan hasil tangkapan sedikit membuat warga cemas. Ngadimin dan Pak Jenggot adalah orang yang percaya dengan ucapan Gelung yang agak ‘gendeng’ atau tidak waras, setelah mereka mencoba melakukan perintah Gelung hasil tangkapan mereka menjadi berlimpah. hal ini membuat warga iri dan menyanjung Gelung sebagai orang sakti. Kejadian ini tentu meresahkan Jaelani yang memikirkan akhlaq warganya, ditambah dengan ulah anak-anak angkatnya yang hobi mencuri harta demi menolong fakir miskin. Rentetan kejadian yang muncul dan perasaan bersalah Jaelani yang mendalam membuatnya bertemu dengan maut. B. Hubungan Intertekstual Surat Al Baqarah Ayat 188 Hobi mencuri anak-anak angkat Jaelani membuat warga resah karena dianggap mencemarkan nama baik kampung Glagah. Ada keterkaitan permasalahan tersebut dengan surat Al Baqarah ayat 188 yang artinya berbunyi : Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. (Al-Baqarah 188) Ayat tersebut menerangkan bahwa mencuri atau mengambil harta milik orang lain adalah salah. Kegiatan anak-anak yang nampak polos tersebut didasari rasa welas asih kepada sesama namun dengan cara yang salah. Nalar anak-anak masih naïf, baru dapat melihat baik dan buruk secara kasat mata, maksudnya mereka belum tahu pasti yang benar-benar baik itu seperti apa dan yang benar-benar salah itu seperti apa. Hal tersebut nampak pada kutipan berikut: Pargraf 1-2 hlm. 153 Salahkah seandainya ada orang yang mencuri, tetapi hasil curian itu diberikan pada orang yang menderita kekurangan? Sudah begitu, uang yang dicuri itu berasal dari jalan yang tidak dibenarkan? Kenyataannya, Fajar dan adik-adiknya memang mencopet. Banyak uang yang telah mereka dapatkan, telah mereka kumpulkan, dari hasil mencopet. Tetapi mereka tetap mencopet dari orang-orang yang tidak baik, dari orang-orang yang akhlaknya buruk. Tidak hanya anak-anak, manusia dewasa pun sepakat bila sudah mengangkat rasa kemanusiaan akan muncul sebuah empati. Ada persamaan anatara ayat 188 surat Al-Baqarah dengan cerita ini yaitu urusan mengambil harta milik orang lain itu tidak dibenarkan, namun ada pertentangan yang cukup rumit yaitu apakah layak anak-anak dibawah umur untuk diadili. Urusan hukum di Indonesia tidak mengenal usia, bila bersalah harus dihukum sesuai ketentuan yang berlaku, namun bila menggunakan nurani sebagai manusia layakkah anak-anak mendekam dalam penjara. Perkara ini cukup rumit untuk dibicarkan sehingga tokoh Jaelani (ayah angkat anak-anak) merasa sangat bingung dan resah menghadapi permasalah ini. Ada perasaan membenarkan namun ada pula perasaan menyalahkan, kedua perasaan ini menghantui Jaelani hingga sakit dan meninggal. Saka, Yusuf, Samudra, Linggar, dan Keling berjongkok. Kedua tangan mereka dilingkarkan diatas kepala. Mereka menundukkan kepala. Seorang petugas yang duduk di tempatnya memandangi anak-anak itu. Dia geleng-geleng kepala. Dia tak menyangka ternyata selama ini yang melakukan pencurian di kampong Glagah daalah anak-anak itu. Anak-anak kecil itu. (hlm 170). Petugas itu lantas berkata, “Begini Mas Guru. Mereka tertangkap basah mencuri uang di pasar dengan bukti yang sah dan meyakinkan. “Petugas itu lalu memperlihatkan barang buktinya seraya berkata, “Ini buktinya Mas.” (hlm 172) Kenyataan pahit yang harus Jaelani terima tanpa bisa melakukan apapun. Sikap keprihatinan anak-ank yang dituangkan lewat jalan yang salah menjadi permasalahn tersendiri dibenaknya. Dia melihat catatan keuangan di dalam buku tulis tersebut. Dan memang, buku itu adalah buku sedekah anak-anak. Buku yang di dalamnya tertulis pemasukan dan pengeluaran uang. Tentu saja Maysaroh menyadari bahwa catatan tersebut adalah catatan uang yang didapat anak-anak dari hasil mencuri selama ini. (hlm 199) C. Hubungan Intertekstual Surat An Nisa 105 Perasaan bersalah Jaelani yang memikirkan kebenaran dan keadilan membuatnya bertemu dengan maut. Merasa kurang mampu mengemban amanah dari ayah angkatnya yang sangat Jaelani sayangi membuatnya tertekan, ditambah rasa bersalah kepada Tuhan yang belum mampu tidak dapat mengemban hal ini sesuai dengan surat An-Nisa 105 yang berbunyi: KEHARUSAN MENJAGA KEBENARAN DAN KEADILAN Keharusan adil dan tidak memihak dalam menetapkan sesuatu hukum Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat[347], (An-Nisa 105). [347]. Ayat ini dan beberapa ayat berikutnya diturunkan berhubungan dengan pencurian yang dilakukan Thu'mah dan ia menyembunyikan barang curian itu di rumah seorang Yahudi. Thu'mah tidak mengakui perbuatannya itu malah menuduh bahwa yang mencuri barang itu orang Yahudi. Hal ini diajukan oleh kerabat-kerabat Thu'mah kepada Nabi s.a.w. dan mereka meminta agar Nabi membela Thu'mah dan menghukum orang-orang Yahudi, kendatipun mereka tahu bahwa yang mencuri barang itu ialah Thu'mah, Nabi sendiri hampir-hampir membenarkan tuduhan Thu'mah dan kerabatnya itu terhadap orang Yahudi. Kebenaran dan keadilan harus ditegakkan, namun dengan cara seperti apa mengadili perbuatan anak-anak yang kurang terpuji tersebut mengingat tujuan mereka mulia. Wajar apabila anak-anak masih naïf dan polos sehingga dapat berpikiran semacam itu. Bobot keadilan dalam perkara ini susah untuk ditentukan. Ada persamaan dengan surat An-Nisa ayat 105 yaiu ada kebimbangan dalam mengambil putusan perkara, namun bersikap adil tanpa memikirkan latarbelakang si bersalah adalah adil. Hanya saja dalam perkara anaak-anak ini penjara bukan jawaban, melainkan anak-anak diberi arahan yang baik agar tidak melakukan kesalahan yang sama dikemudian hari. Sebab pada dasarnya hati anak-anak ini mulia. Rasa bingung, iba, kecewa beraduk menjadi satu dalam benak Jaelani ditambah dengan perkara Gelung yang membela anak-anak di kantor polisi, masih menjadi pertanyaan, tindakan Gelung tersebut dibenarkan atau tidak. Sikap membela semacam ini memang bukan penyelesaian yang baik, justru menambah masalah semakin besar. “Bapak polisi…!” teriak Gelung. “Mereka tidak bersalah. Bebaaskan mereka. Sayalah yang bersalah. Aku yang mengajari mereka untuk mencuri. Aku yang memaksa mereka untuk mencuri!” (hlm 173) Semua tahu, Gelung tidak ada hubungannya dengan ulah anak-anak yang mencuri-mencopet itu. Keindahan qalbi anak-anak sendirilah yang menghendaki mereka untuk mencuri demi bisa membantu orang-orang yang membutuhkan bantuan, membutuhkan pertolongan. Anak-anak telah kecanduan; kecanduan untuk membantu. (hlm 175) Perasaan bersalah Jaelani juga muncul ketika harus mempertanggungjawabkan kepada masyarakat, tindakan warga yang menyudutkannya juga tidak dapat disalahkan. Desakan warga yang semakin menusuk hati, tersebar meluas hingga panti asuhan yang ada di wilaya tersebut mengambil anak-anak dari rumah Jaelani. Sudah bukan rahasia lagi jika sekarang ini anak-anak angkat Maysaroh dan Jaelani terkenal sebagai pencuri…. Kabar miring yang demikian itu, ternyta terendus oleh pihak pemerintah. Di dekt kampong Glagah, ada sebuah panti asuhan yang bernma Panti Asuhan “Budi Luhur”. Atas nama pemerintah, atas nama masa depan anak-anak, dan …Mereka ingin meminta anak-anak agar anak-anak itu tinggal di panti asuhan. hlm 184 …Di sini anak-anak memprihatinkan sekali!” Maka Jaelani berusaha membela diri, “Di sini pun mereka terjamin, Pak?” “Terjamin? Terjamin apanya??” “Ya…terjamin…terjamin tempat tinggalnya, terjamin pendidikannya…” “Pendidikan? Maksud sampean, mereka akan dididik untuk menjadi pencuri, begitu?!” “Astaghfirullah…” Hanya itu.(hlm 186) Pergolakan batin yang sangat rumit terjadi dalam batin Jaelani sebagai tokoh utama dalam novel ini. Pelik dan rumit, pembaca diajak merasakan hal yang sama dengan perasaan tokoh utama. Bila cerita ini adalah kenyataan, sungguh penyelesiannya pun juga akan rumit karena kejadian semacam ini banyak terjadi di Indonesia mengingat masih banyak kemiskinan di Negara ini. Tidak sedikit masyarakat yang protes terhadap pemerintah. Menyangkut masalah hukum, keadilan, dan kesejahteraan. Mereka yang korupsi milyaran hanya dipenjara beberapa bulan, sedang yang mencuri ayam harus menerima tonjokan dari masyarakat hingga babak belur bahkan ada juga yang sampai mati. Mereka yang punya uang memiliki fasilitas mewah dipenjara, dengan kata lain hanya pindah ruang tidu saja. Sedang mereka yang miskin harus berdesak-desakan didalam penjara sehingga untuk istirahat (tidur) sangat sulit. Banyak perkara di Negara ini yang sampai sekarang belum ada penyelesain pasti dan adil. “DIAM!!” Tiba-tiba, terdengar ucapan yang menggelegar. Satu ucpan yang diucapkan oleh orang yang mereka ketahui, mereka kenali. Gelung. Ya, Gelung! Gelung telah kembali. Gelung telah dibebaskan dari penjara, dan di saat yang tepat, dia datang ke rumah ini. Wajahnya yang tampak kusut semakin sangar. Semakin menakutkan. Semakin mengerikan. (hlm 219) Kedatangan Gelung yang tiba-tiba dan keluarnya dia di rumah Jaelani seperti perkara pencurian anak-anak yang penyelesaiannya kurang jelas. Keluarnya Gelung dari penjara tidak penulis ceritakan, hal ini sesuai dengan hukum di Indonesia yang tidak jelas arah penyelesaiannya. Meskipun jelas nampak ada pertentangan didalam hukum namun hal tersebut tidak peulis ungkapakan. Kebenaran dan keadilan didunia memang sulit untuk ditegakkan, perasaan membela dan dibela masih sering menghantui para pengak hukum sehingga sifatnya subyektif. BAB IV KESIMPULAN Ada hubungan antara surat Al-Baqarah ayat 188 dengan novel “Di Bawah Langit” karya Opick ‘Tombo Ati’ dan Taufiqurrahman Azizi. Hubungan tersebut adalah tidak dibenarkan suatu tindakan mencuri, mencopet dan semacamnya walaupun dengan alasan yang mulia. Tindakan yang salah mendapat hukuman atau sanksi. Hukuman atau sanksi disini tidak memihak, artinya tidak memandang siapa yang bersalah. Sedangkan surat An-Nisa ayat 105, sifatnya adalah sebagai penegas atau penguat dalam menegakkkan keadilan dan kebenaran. Dalam pemutusan perkara ada pertentangan-pertentangan yang hendaknya dapat diselesaikan secara terbuka, dan jangan terlalu subyektif dalam menegakkan hukum. DAFTAR PUSTAKA Al-Quran dan terjemahan Pradopo, Rahmat Djoko.2003. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Junus, Umar. 1985. Resepsi Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia. Hubungan Intertekstualitas Surat A l- Baqarah 188 dan Surat An-Nisa 105 dalam Novel “Di Bawah Langit” Karya Opick ‘Tombo Ati’ dan Taufiqurrahman Azizi Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sastra Perbandingan Oleh : Sari Wijayanti [07003115] Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pengetahuan Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta 2009 Selengkapnya...

PERTEMUAN

Hati ini
hanya misteri
Ia menari
diatas deduri-duri
memanas di perapian apiberapiapi
yang terpecik diantara semak
miris
tragis
sadis.
Yogyakarta, 19 Mei 2009
Selengkapnya...

DIAM

Diam dalam iman insan

Diam itu mati DIAM - d.i.a.m D = desakan I = imaji A = analogi M = meneng Kembali pada DIAM
Bergerak tuk diam, Letak diam, pedoman Iman jadi imam Alam berdzikir dalam diam Tuk hikmah
Tumbuh, mekar petuah
Selengkapnya...

Kawan

Hi kawan,

dimanakah jingga?

dimanakah biru?

dimanakah hijau?

Hi kawan,

Aku mencari jingga

Aku mencari biru

Aku mencari hijau

Hi kawan

Bermuaralah di senja senyap

Selengkapnya...

Kisah Semalam

Semanis iman, takmil-tafril-daf’u did diha sempurna cinta saat menunggu jumpa terus bercabang hingga ke akar tak kuasa melawan bertentang sakit dan pahit adalah lezat hawwalatul iman iman insan Sejarah telah membuka dunia lewat kuasaNya, sedang manusia hanya bisa berusaha. Bisa lewat lisan ataupun lewat hati. Melalui tenaga dan kemampuan berfikir yang sejengkal manusia dianggap berusaha. Melalui jiwa yang tipis manusia mencoba merasa. Malam terasa semakin larut, dan hembusan angin yang berdesir makin meneriakakkan jiwaku yang haus kasih. Dalam titian sendu malam ini, kuhayati perlahan manisnya iman yang bisa kurasakan. Seperti bait puisi yang tak sengaja terlantun: takmil-tafril-daf’u did diha, seperti rangkaian tatasurya yang sudah terpola. Kunfayakun semua bisa terlaksana. Hati inipun Dia yang punya. Baru tersadar, ternyata iman insan tak jauh beda dengan jagad dan seluruh isinya. Sudah terskenario nan bisa terbaca. Tiada yang kuasa melainkan Allah Azza Wa Jalla, karena dengan kuasaNya kita ini tiada daya dan upaya. Bahkan hati yang paling tersembunyipun Allah mampu mengendalikan. Subhnallah. Seperti itulah sekelumit kuasa Allah. Betapa indah nan syahdu bila manusia mampu merasakan manisnya beriman karena Islam. Satu-satunya dien yang diridhoi Allah, yakni seperti pada ayat (Al- Maidah:3) : “..Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu..” Manisnya iman memiliki tingkatan yang mampu dirasakan, seperti sebuah tangga cinta versi Dewi Amor yang menggairahkan. Urutan tangga cinta yang manis itu adalah takmil-tafril-daf’u did diha. Pertama adalah takmiluha, yakni menyempurnakan kecintaan seperti Allah dan Rasul terhadap yang lain. Seperti tak sabar ingin segera bertemu dengan sang kekasih. Level ini memberi kesan halus dan menyentuh, di hatiku seperti tiada terpikir hal seperti itu, padahal ini baru level terendah. Mungkinkah aku sudah berada disini? Pikirku. Aku melanjutkan lagi daya khayalku dalam naungan sendu. Tafriluh, ini adalah level kedua yakni mengembangkan cintanya sampai cabang. Segala hal yang terkait dengan hal yang terjadi, jadikan itu sebagai usaha dalam mencintaiNya. Mengikhlaskan segalanya untukNya. Karena hanya Dia yang punya. Bisa jadi hanya sekedar mencintai orang lain karena Allah. Kemudian Daf’u did diha yakni berbuat yang melawan dengannya. Dengan bukti-bukti: 1) Bisa mengutamakan urusan untuk Allah (At-taubah 24); 2) Keridhoan lahir bila sudah bisa “ikhlas karena Allah” ; 3) Bisa menikmati kelezatan taat “tidak menggerutu” seperti kisah nabi Ayub “infiru… ; 4) Menikmati beban berat dijalan Allah (QS. Ibrahim 24 = ibarat kalimat yang baik ‘tauhid’) Bukan arti aku tak layak berkhayal, aku hanya ingin menanyakan dimanakah aku ini? Pantaskah aku berada dalam putaran iman insan yang begitu manis nan indah. Bilakah pantas, ditangga mana? Layak kah aku disana? Mampukah nurani menjawab? Sedang hati ini masih senantiasa berproses dan selalu berubah sesuai nafsu yang ada dalam hawaku. Lantas untuk apa aku disini menangis dan seolah mengerti. Namun setelah ini aku kembali lagi merajalela seperti sapi yang tak terkendali. Untuk sholat saja aku masih kalah dengan malas, untuk dzikir aku kalah dengan capek, untuk berpuasa aku kalah dengan lemas, untuk sedekah aku kalah dengan kebutuhanku, untuk menolong sesama aku berat dengan langkahku, untuk berguna aku kalah dengan kemampuanku. Jika aku belajar ikhlas, bagaimana caranya dan seperti apa rasanya? Apakah aku sudah pernah merasakannya? Aku bertanya lagi dengan hatiku. Untuk berkorban aku tak bisa. Untuk mengalah aku lebih tak mau. Untuk menang aku harus mengalahkan sesuatu dengan cara tak sedap. Demi mendapat sebuah gelar aku gadaikan harga diri. Kadang terlintas, hidup hanya sekali mengapa tak ku puaskan inginku. Aku punya segalanya. Kecuali 1 = iman. Aku tertunduk, malu. Malam ini aku benar-benar terlihat kecil, tak bisa sombong dan menengadah. Yang kulakukan hanya tunduk dan sujud. Ku ingin malam ini tak berakhir agar aku bisa bermuhasabah diri lebih teliti. Mumpung tersadar iman dalam benakku. Pikirku! Ah, hanya gurauan sekilas tentang intermezo ketidakkhusukannku. Lebih tak mungkin lagi bila aku mampu melawan segala sesuatu yang tak Ia sukai. Melawan yang haram, mendekati yang halal. Sedang alkohol masih senantiasa ku dekap, rokok masih saja ku hisap. Kartu dan nomor masih sering kumainkan, meski terkadang bahkan sering aku mengeluarkan banyak uang. Semua itu kulakukan secara sembunyi karena aku malu dilihat orang. Betapakah aku ini? Aku yakin masih banyak sekali noda menempel ditubuhku. Aku bisa merasa, namun susah untuk menghilangkannya. Terjagaku malam inipun karena aku tak tahan menahan air dalam perutku. Terpaksa bangun dan kulanjutkan sampai sekarang. Hingga aku merasa tak pantas dalam sujud malamku ini. Inilah sepenggal kisah malamku disaat aku merasakan aliran iman mengalir lembut dihari itu. Meski hanya sekelumit, detik keimanan itu mampu menenangkan hatiku. Selengkapnya...

Musafir

Jalan berjalan menukik rasa

Peradaban rasa sudah memuncak langit

Itu hanya lisan

Jalan berjalan menukik rasa

Hati kian mengembara

Mencari Tuan

Selengkapnya...

Senyum Cumullus

Senyummu kau cinta
Mengembang dan membunga bagai mahkota
Ia disana menggema
Getarkan suara
Suara-suara cinta dalam nada
Cinta-cinta sendu dan cinta-cinta duka
Tanpa ceria
Ia memberi keceriaan lewat senyum
Senyum cumullus tulus dengan mulus
Tiada gores kuruspun hunus
Mereka adalah cahya indah yang mesra
merpati cinta yang datang menyapa
Mereka disana bersama
Dalam cinta dan senyum cumullus.
Yogyakarta, 8 Juni 2009
Selengkapnya...

Hijau

“Saatnya tahu isi hati”

Itu yang sekarang ada dalam otakku. Kata orang, hati adalah dasar atau ujung dari pribadi tiap manusia yang mau disebut. Bila ia sudah punya hati, maka nurani akan menari. Padahal sebenarnya aku sendiri tak tahu apa maksudnya?

Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. (Al-Alaq ayat 2)” Tuh, sampai Al-Quranpun berkola alias berkata. Manusia dari segumpal darah, bukankah hati adalah segumpal darah? Jadi kalau hatinya baik, manusianya juga baik, begitupun sebaliknya. Setuju? Hanya nurani nan bijak yang bisa menjawab.

Terus terang aku masih terlalu kecil untuk berpendapat, apalagi untuk berfilsafat. Tidak mungkin hanya. Aku sudah mencapai angka 17 dalam umurku, lalu dengan mudah bisa memasuki dunia filsafah yang kebanyakan diisi oleh kaum lansia. Uh, rugi dong. Masa diriku yang masih hijau ini, harus menjadi tua dalam seketika.

Sekarang umurku baru 10 tahun, kata Bunda aku harus sabar di atas kursi roda sampai umur 20 tahun karena kakiku agak berbeda dari yang lain. Tidak terlihat, tapi dapat kurasakan sakitnya. Kanker tulang yang kuderita, mengharuskan aku duduk manis di atas kursi rodaku ini. Teman setia sekaligus penolongku.

Usai sekolah, aku segera pulang dan langsung istirahat. Si ‘kurso’ menjagaku di samping tempat tidur. Bila aku sedang melukis, Kurso memberi banyak inspirsi. Yah..karena yang kulukis selalu kursi roda dengan beranekaragam corak dan warna. Walau bagaimanapun aku berusaha mempercantik lukisan ‘kursoku’, tetap saja ia benda mati. Anehnya, ‘kurso’ selalu hidup dalam hatiku.

“Rani, jusnya sudah diminum atau belum?” panggil Bunda ditengah lamunanku yang belum usai. Tak urung, lamunanku memang tidak pernah usai sampi ajal menyapa.

“Ya Bun, sudah kuhabiskan dari tadi. Kerongkonganku sudah gersang sampai sulit untuk berkicau.” Jawabku sekenanya.

“Anakku ini makin hari pintar merangkai kata. Bagaimana lukisanmu?”

Rani diam, masih berbaring dengan lemah.

“Tumben gak ada komentar? Ada yang salah nak?

NO. No matter.

“Bunda merasa tetap ada yang lain. Tapi..itupun kalau Rani mau cerita sama Bunda.”

Masih hening, Rani diam seribu bahasa. Terlihat jelas Bunda berusah keras mencairkan suasana. Menggali informasi yang mungkin bisa didapat.

“Hei lihat, kursonya knapa kamu kasih warna hijau?” Tanya Bunda setelah 10 menit terdiam.

“Hijau itu subur. Menurut cerita melambangkan surga, karena didalamnya banyak kesejukan dan kenyamanan. Disitu aku juga melukis matahari hijau.” Ujarku sekenanya.

Bunda membalas dengan senyuman. “Makan yuk nak!”

“Iya Bun.”

Megapa hijau? Sebenarnya aku sendiri juga tidak tahu. Saat melukis, warna itulah yang muncul dalam benakku. Orang bilang warna hijau adalah lambang surga, tapi orang yang mana aku sendiri tidak tahu. Yang jelas, aku mengiginkan surga.

-00-

Masih, aku meratapi nasib dengan penyakit ganas yang kuderita ini. Prediksi dokter, umurku hanya mencapai 20 tahun. Itupun kalau benar, karena yang menentukan hanya Allah bukan dokter. Sejak saat itu aku hanya bisa menangis lewat senyuman.

Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun" . Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (Al-Baqoroh 155-157)

Berita gembira telah sampai ditelingku. Masihkah aku harus bersedih? Pantaskah? Bukankah Allah meninggikan derjad orang yang mampu bersabar. Entahlah, aku masih terlalu dini untuk diajak dewasa. Apalagi dipksa untuk mengerti isi Al-Quran, yang tua saja belum tentu dapat paham dengan baik. Kalimat dalam Al-Quran memang mudah untuk dibaca, namun sulit untuk dimengerti apalagi untuk diterapkan dalam kehidupan. Wallahu a’lam.

“Kunci orang sakit adalah bahagia Nak. Sesakit apapun kamu sekarang, hiburlah hatimu dengan keikhlasan. Ingat, bekal untuk ke surga sangat sulit. Kamu harus mampu melewati ujian ini untuk sampai kesana.”

Aku belajar dewasa dari Bunda, ia mengjriku lewat lisan. Mencontohi lewat perangai, memberi kasih sayang lewat perhatian. Bunda juga sigle parent yang cantik dan menarik. Banyak rekan kerjanya yang mengantri untuk diseleksi. Tak banyak dari mereka yang bisa memikat hatiku, kecuali Om Renaldi. Atasan Bunda yang paling muda. Maklum, Bunda hanya staf marketing biasa.

Aku sangat sayang pada Om Rei, tapi sepertinya ia kurang tepat untuk Bunda. Selain Om Rei lebih muda, ia juga sepertinya hnya saying padaku bukn pada Bunda. Aku tahu Om Rei adalah orang tak tegaan, karena itu ia iba padaku. Ia pernah cerita padaku bahwa ia suka pada wanita dewasa yang muda, intelek, manis, selalu bias membuat ceria dan yang terpenting adalah mau menerimanya apa adanya karena sejak kecil ia sudah yatim piatu yang besar di sebuah panti.

Bila dirata-rata, Bunda masuk dalam kriteria Om Renaldi kecuali satu kata. Muda. Itulah yang sedang aku pikirkan. Andai umur Om Rei 40 th atau 50 th, tentu tidak akan repot lagi. Faktanya Om Rei 25 th, Bunda 42 th. Gimana?

-00-

Langit biru cerah dengan awan putih deselingi cercah cahaya dari sang surya. Memantul hijau di kolam penuh lumut dibelakang rumah. Banyak orang berdatangan ditengah parahku. Seperti pesta duka yang sebentar lagi akan terlaksana. Banyak orang berdatangan ditengah parahku. Gaun hijau kupakai bersama kurso, entah pantas atau tidak. I don’t care.

Sepasang kilau perak memantul damai. Pernikahan sacral tlah usai. Tiba saat menghabiskan sesajian bekal dari kedua mempelai. Seyum kuadrat Nampak cantik dibibir Bunda. Tapi tidak kulihat itu sedih atau bahgia, aku hanya bias merasakan lega melihat ini semua. Ia mempunyai keluarga baru bersama Om Rei. Aku sekarat.

Langit mendung tiba-tiba. Gerimis perlahan datang ditemani hembusan angina dingin yang merasuk ke pori kulit ari. Cahaya itu dating. Aku harus pulang. Umurku belum 20 th, masih kurang 9 tahun dari prediksi. Allah berkehendak lain. Kunfayakun. Tak ada yang tak mungkin. Buah sabar itu mahal. Aku terjatuh dalam gerimis dirumput hijau orang tuaku. Mereka berduka dalam cahaya samar diangkasa. Surga. Semoga kelak kita bertemu disana. Amin.

-sekian-

Selengkapnya...