hujan

top

SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA

ngiklan yuk

Kisah Semalam

Semanis iman, takmil-tafril-daf’u did diha sempurna cinta saat menunggu jumpa terus bercabang hingga ke akar tak kuasa melawan bertentang sakit dan pahit adalah lezat hawwalatul iman iman insan Sejarah telah membuka dunia lewat kuasaNya, sedang manusia hanya bisa berusaha. Bisa lewat lisan ataupun lewat hati. Melalui tenaga dan kemampuan berfikir yang sejengkal manusia dianggap berusaha. Melalui jiwa yang tipis manusia mencoba merasa. Malam terasa semakin larut, dan hembusan angin yang berdesir makin meneriakakkan jiwaku yang haus kasih. Dalam titian sendu malam ini, kuhayati perlahan manisnya iman yang bisa kurasakan. Seperti bait puisi yang tak sengaja terlantun: takmil-tafril-daf’u did diha, seperti rangkaian tatasurya yang sudah terpola. Kunfayakun semua bisa terlaksana. Hati inipun Dia yang punya. Baru tersadar, ternyata iman insan tak jauh beda dengan jagad dan seluruh isinya. Sudah terskenario nan bisa terbaca. Tiada yang kuasa melainkan Allah Azza Wa Jalla, karena dengan kuasaNya kita ini tiada daya dan upaya. Bahkan hati yang paling tersembunyipun Allah mampu mengendalikan. Subhnallah. Seperti itulah sekelumit kuasa Allah. Betapa indah nan syahdu bila manusia mampu merasakan manisnya beriman karena Islam. Satu-satunya dien yang diridhoi Allah, yakni seperti pada ayat (Al- Maidah:3) : “..Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu..” Manisnya iman memiliki tingkatan yang mampu dirasakan, seperti sebuah tangga cinta versi Dewi Amor yang menggairahkan. Urutan tangga cinta yang manis itu adalah takmil-tafril-daf’u did diha. Pertama adalah takmiluha, yakni menyempurnakan kecintaan seperti Allah dan Rasul terhadap yang lain. Seperti tak sabar ingin segera bertemu dengan sang kekasih. Level ini memberi kesan halus dan menyentuh, di hatiku seperti tiada terpikir hal seperti itu, padahal ini baru level terendah. Mungkinkah aku sudah berada disini? Pikirku. Aku melanjutkan lagi daya khayalku dalam naungan sendu. Tafriluh, ini adalah level kedua yakni mengembangkan cintanya sampai cabang. Segala hal yang terkait dengan hal yang terjadi, jadikan itu sebagai usaha dalam mencintaiNya. Mengikhlaskan segalanya untukNya. Karena hanya Dia yang punya. Bisa jadi hanya sekedar mencintai orang lain karena Allah. Kemudian Daf’u did diha yakni berbuat yang melawan dengannya. Dengan bukti-bukti: 1) Bisa mengutamakan urusan untuk Allah (At-taubah 24); 2) Keridhoan lahir bila sudah bisa “ikhlas karena Allah” ; 3) Bisa menikmati kelezatan taat “tidak menggerutu” seperti kisah nabi Ayub “infiru… ; 4) Menikmati beban berat dijalan Allah (QS. Ibrahim 24 = ibarat kalimat yang baik ‘tauhid’) Bukan arti aku tak layak berkhayal, aku hanya ingin menanyakan dimanakah aku ini? Pantaskah aku berada dalam putaran iman insan yang begitu manis nan indah. Bilakah pantas, ditangga mana? Layak kah aku disana? Mampukah nurani menjawab? Sedang hati ini masih senantiasa berproses dan selalu berubah sesuai nafsu yang ada dalam hawaku. Lantas untuk apa aku disini menangis dan seolah mengerti. Namun setelah ini aku kembali lagi merajalela seperti sapi yang tak terkendali. Untuk sholat saja aku masih kalah dengan malas, untuk dzikir aku kalah dengan capek, untuk berpuasa aku kalah dengan lemas, untuk sedekah aku kalah dengan kebutuhanku, untuk menolong sesama aku berat dengan langkahku, untuk berguna aku kalah dengan kemampuanku. Jika aku belajar ikhlas, bagaimana caranya dan seperti apa rasanya? Apakah aku sudah pernah merasakannya? Aku bertanya lagi dengan hatiku. Untuk berkorban aku tak bisa. Untuk mengalah aku lebih tak mau. Untuk menang aku harus mengalahkan sesuatu dengan cara tak sedap. Demi mendapat sebuah gelar aku gadaikan harga diri. Kadang terlintas, hidup hanya sekali mengapa tak ku puaskan inginku. Aku punya segalanya. Kecuali 1 = iman. Aku tertunduk, malu. Malam ini aku benar-benar terlihat kecil, tak bisa sombong dan menengadah. Yang kulakukan hanya tunduk dan sujud. Ku ingin malam ini tak berakhir agar aku bisa bermuhasabah diri lebih teliti. Mumpung tersadar iman dalam benakku. Pikirku! Ah, hanya gurauan sekilas tentang intermezo ketidakkhusukannku. Lebih tak mungkin lagi bila aku mampu melawan segala sesuatu yang tak Ia sukai. Melawan yang haram, mendekati yang halal. Sedang alkohol masih senantiasa ku dekap, rokok masih saja ku hisap. Kartu dan nomor masih sering kumainkan, meski terkadang bahkan sering aku mengeluarkan banyak uang. Semua itu kulakukan secara sembunyi karena aku malu dilihat orang. Betapakah aku ini? Aku yakin masih banyak sekali noda menempel ditubuhku. Aku bisa merasa, namun susah untuk menghilangkannya. Terjagaku malam inipun karena aku tak tahan menahan air dalam perutku. Terpaksa bangun dan kulanjutkan sampai sekarang. Hingga aku merasa tak pantas dalam sujud malamku ini. Inilah sepenggal kisah malamku disaat aku merasakan aliran iman mengalir lembut dihari itu. Meski hanya sekelumit, detik keimanan itu mampu menenangkan hatiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar