hujan

top

SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA

ngiklan yuk

Duka Sang Khaliq

Bukankah suatu mimpi dapat menjadi kenyataan? Dulu Nabi Yusuf juga penafsir mimpi yang handal. Tidak mustahil bila mimpiku ini juga suatu pertanda. Katanya bila mimpi ada gigi yang tanggal maka akan ada kematian. Siapa? Benarkah ini suatu pertanda? Tapi apa? “Hal yang sepatutnya dijaga adalah diriku sendiri.” Benarkah demikian? “Waspada, itulah kuncinya.” Kata-kata dari orang berbaju putih itu nampak jelas dalam ingatanku. Wajahnya. Suaranya. Benarkah kecelakaan kedua orangtuaku tidak wajar? Bila demikian, apa motif pembunuhnya? Orangtuaku bukan orang berpangkat. Tidak juga memiliki cukup harta yang patut diperebutkan. Inikah yang namanya pembunuh berdarah dingin. Tanpa sebab jelas asal dapat membunuh sudah memuaskan nafsunya. Apakah hal ini ada kaitannya dengan Lek Mira. Apa dia tahu perkara ini juga? Aku harus segera menanyakannya pada Lek Mira. Segera kuambil ponsel yang terletak diatas meja komputer. “Assalami’alaikum.” “Wa’alaikum salam. Lek Mira, bisa ketemu hari ini? Aku pengen ngomong sesuatu sama Lek.” cakapku singkat. “Insya Allah bisa, tapi setelah jam 2 aja ya. Hari ini aku harus ngantar surat dinas.” “Inggih Lek. Manut mawon.” “Ndang bali. Aku udah nyiapin gudeg dirumah. Tapi tolong rapiin rumah dulu.” “Inggih Lek. Insya Allah nanti saya kerjakan. Ya sudah. Ku tunggu dirumah ya. Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikum salam.” Tidak ada suara lagi dari seberang. Alhamdulillah, gumamku dalam hati. Suasana menjadi hening kembali dengan kebingunganku yang mulai berkurang. Meskipun belum terjadi, ada sedikit kelegaan yang membuka cakrawala kebingungan ini. Ada harapan yang sedang menantiku disana. “Tinggal menyusun pertanyaan.” Ujarku dalam hati. Layaknya siswa SMA yang hendak mewawancarai orang penting, aku mulai menulis beberapa daftar pertanyaan yang hendak kusampaikan pada Lek Mira. Kurangkai berbagai pertanyaan dan kutulis dalam sebuah kertas bekas yang ada di berkas-berkas takmir yang sudah usang. Memilah dan membandingkan, kemudian menerawang berbagai kemungkinan yang terjadi. Hampir seluruh imajinasiku ikut campur dalam perkara ini. Rangkaian kosakata kususun rapi dengan harapan tidak ada kecacatan sama sekali yang akan menyudutkanku. Justru aku yang harus bisa menyudutkan Lek Mira. Pikirku. Diruang berukuran 2x4 ini aku bebas berekspresi, cukup leluasa untuk berbuat semauku. Pasalnya Umar dan Son-Son, teman sekamarku sudah beranjak dari tempat ini sejak ba’da subuh tadi. Usai jamaah subuh dimasjid, Umar segera bergegas merapikan tasnya. Hendak membantu rekannya. Setiap ada waktu luang, Umar selalu menyempatkan untuk membantu rekan-rekannya dalam bekerja. Dengan harapan ada sedikit imbalan untuk bekal makan siang ataupun makan malam atau sisanya dapat disimpan untuk keperluan dadakan. Sedangkan Son-Son aku lihat dia nampak biasa, hanya saja kurang menggunakan minyak wangi agak berlebih seperti biasanya. Katanya ibu tercinta sudah kangen, padahal hanya Jogja-Klaten namun hampir setiap hari ibunya bilang kangen. Maklum saja, anak semata wayang yang agak feminin. Laki-laki bisa, perempuanpun tak masalah. Anehnya, Son-Son dapat bertindak tegas layaknya laki-laki bila sedang kepentok. Artinya ia harus dalam keadaan kepentok terus menerus untuk menunjukkan kelaki-lakiannya. Agak kasihan juga aku padanya, bila ibu tercinta tidak terlalu memanjakan dan menuntut macam-macam padanya mungkin kelainan ini dapat dihindari. Perilaku Son-Son juga sudah mulai berubah sejak mengenalku dan Umar. Kami selalu mengajak Son-Son untuk mengerjakan pekerjaan laki-laki tanpa ada perasaan takut atau was-was yang berlebih. Seperti benahi genteng, mengecat tembok sambil memanjat atau terkadang kami saling mengikat tali layaknya panjat tebing para pecinta alam. Masjid Muhajirin yang terletak di Condong Catur ini memang dikenal cukup bagus. Selain arsiteknya yang handal, keberadan masjid ini juga sangat diharapkan. Jam sudah menunjukkan pukul 11.10, tiba saatnya untuk mengakhiri aktifitasku dikamar ini. Aku harus bersiap untuk mengurus masjid mengingat hari ini adalah hari jumat. Sigap dan bergegas aku mulai membersihkan diri, merapikan pakaian dan memakai wangi-wangian. Masjid sudah ditata rapi rupanya, ternyata sebelum Umar pergi ia tidak lupa kewajibannya karena setiap jumat pekan kedua menjadi urusannya untuk membersihkan masjid. Ia memang anak yang penuh tanggungjawab. Meskipun sama-sama takmir tetap disini, namun etos kami sangat berbeda. Aku adalah orang yang memiliki kemauan keras, namun bila capek menyerang maka kemauan kerasku itu dapat runtuh dengan sendirinya. Lain dengan Umar yang sejak awal tidak pernah kenal capek kurasa. Itu hipotesaku selama ini, sebab kuperhatikan perhari ia hanya tidur tidak lebih dari 5 jam. Siang hari sehabis kuliah atau bekerja, ia tidur sekitar 10 menit. Setelah istirahat sejenak, ia mulai beraktifitas lagi. Mengerjakan tugas kampus, tugas takmir maupun tugas arus kas tempat ia bekerja di warnet. Meskipun ia hanya kerja paruh waktu, namun si pemilik memberi kepercayaan penuh untuk menghitung keuangan. Dapat dikatakan ia sebagai wakil managar disana. Tidak heran bila ia sering mendapat bonus untuk kerja kerasnya itu. Jujur, aku salut padanya. Kami banyak kemiripan namun juga sangat bertolak belakang karena sehabis jaga warnet kuhabiskan dengan tidur sepuasnya. Itung-itung balas dendam untuk waktu tidurku yang tersita. Terkadang aku sering iri dengan perlakuan managar padanya, tapi aku dapat bekerja disini juga karena promosi darinya. Jadi aku hutang budi padanya. Pukul 11.35, sudah saatnya aku menjemput Ustadz Afifi dirumahnya. Meskipun rumah beliau masih satu komplek dengan Masjid ini, namun ketua takmir menghimbau agar siapapun dan dimanapun rumah ustadz yang akan mengisi hendaknya “dijemput”, dengan alasan untuk memastikan kedatanga secara tepat waktu. Bahasa kerennya ‘on-time’ begitulah cara kami menjaga identitas masjid ini. “Masjid ini harus dapat menunjukkan etika yang baik, karena cerminan seorang muslim dapat terlihat dari pemakmur masjidnya.” Layaknya ustadz handal ia meyakinkan kami dengan ucapannya, maklum lulusan Al-Azhar yang baru lulus. Perangainya mengingatkanku pada Ustadz Nurkholis, guru favoritku waktu sekolah di Mualimin dulu. Ia adalah sosok ustadz yang penuh semangat. Lewat Ustadz Nurkholislah aku tertarik untuk pergi ke Al-Azhar seperti teman-teman lain. “Aku yakin kamu mampu melewati tes untuk beasiswa itu. Selain menjadi 3 besar dikelas, nilaimu juga masuk 10 besar paralel. Sejak kelas 1 sampai kelas 4 kamu mampu menunjukkan prestasi yang baik. Jadi, teruslah belajar dan berusaha untuk dapat mengalahkan teman yang lain.” Nasihat-nasihat yang beliau berikan padaku, membuatku menjadi lebih semangat belajar. Namun sayang aku gagal dalam tes tersebut. Nilaiku hanya selisih 0.2 saja dari teman yang masuk. Andai nilainyalah yang berada lurus dengan namaku, tentu aku sekarang sudah berada disana. Tidak jauh berbeda dengan disini, aku akan bekerja sungguh-sungguh. “Assalamu ‘alaikum Ustadz.” Sapaku ketika sudah sampai dirumah beliau. Alhamdulilah, Ustadz Afifi sudah siap nampaknya, jadi tak perlu menunggu lama seperti biasanya. “Wa’alaikum salam. Tumben jam segini baru nyampe. Biasanya antum yang harus nunggu.” “Sekali-sekali boleh kan Tad.” “Boleh-boleh.” Ujar ustadz sekenanya kemudian masuk kedalam rumah. “Abi berangkat dulu.” Samar suara yang terdengar dari dalam. “Iya. Ati-ati ya Bi.” Sebuah jawaban yang terdengar samar pula, namun tidak ada bayangan yang terlihat. Aku hanya melihat Ustadz Afifi setengah teriak dari balik pintu yang kebetulan segaris dengan teras depan. “Dari tadi anak rewel banget. Maunya sama Uminya mulu.” Ujar Ustadz Afifi sambil melangkah keluar. “Namanya juga anak-anak.” -##- Usai sholat jum’at aku terus berdoa, benar-benar meminta petunjuk pada Allah agar dibukakan petunjuk agar dapat menyelesaikan perkara ini. Aku meminta dengan kemantapan hati untuk memilih layaknya doa ketika aku sholat istiqoroh malam hari. Tak terasa sudah pukul 13.30, cukup lama juga aku melantunkan doa. Sebab sudah 30 menit yang lalu sholat jumat usai. “Cari apa Kol.” Teriak Alif ketika melihatku. “Ustadz Afifi. Antum liat beliau?” “Sudah pulang. Barusan ana antar.” “Jazakumullah.” “Waiyakum. Ada apa denganmu? Jika sedang ada masalah, tolong jangan sampai melalaikan tugas. Karena itu adalah tanggungjawabmu.” Ujar Alif dengan tegas. “Fahimtu.” Jawabku singkat. Kami terdiam sejenak. “Ana mau pulang bentar. Insya Allah ba’da magrib langsung bisa kesini.” “Tidak perlu. Antum pulang saja dengan tenang. Urusan masjid biar ana yang handel. Kebetulan sore ini tidak ada agenda.” “Syukron.” “Tapi besok pagi sudah harus ada disini. Karna Umar katanya hari ini tidak kesini, ia nginep dikos temannya.” “Insya Allah.” Aku sangat lega mendengar ucapan Alif, setidaknya ia memberiku kelonggaran untuk dapat puas dirumah. Dan mendapati Lek Mira dengan trilyunan pertanyaan yang hendak kutanyakan. Semoga hari ini berjalan lancar. Amin. Sampai di rumah, aku bergegas merapikan rumah seperti pesan Lek Mira sebelumnya. Orang bilang, kita harus dapat mengambil hati untuk orang yang hendak kita serang. Seperti Lek Mira ini yang hendak kuserang dengan peluru pertanyaan-pertanyaan yang tajam dan mengagetkan. Aku sangat kasihan pada Lek Mira, baru 3 bulan menikah namun suaminya sudah meninggal. Iparnya juga sudah tiada pula. Ia masih harus mengurusku sebagai kemenakan semata wayang karena sejak dari Panti Asuhan Aisyah, Lek Mira hanya dekat dengan keluarga Lek Sunar saja. Paman semata wayangku tercinta. Tak terasa, baru memegang piring yang penuh nasi sebentar saja ternyata adzan ashar sudah menyusul. Meski hanya samar-samar terdengar. Suasana pedesaan memang berbeda. Bila di kota, suara adzan yang samar seperti ini mustahil terdengar. Kebisingan lalu lintas dan rangkaian aktifitas yang ada seolah menumpulkan telinga-telinga umatNYA. Karna perutku terus berteriak, aku segera menghabiskan saja makanan yang sudah kuambil. Sudah kangen pula dengan masakan rumah. Usai makan, Lek Mira belum juga pulang. Lebih baik aku segera ke masjid dengan harapan tidak menjadi makmum masbuk. Usai sholat ashar, jantungku berdegup sangat kencang. Orang bilang hal seperti ini dinamakan firasat, atau pertanda. Dan biasanya pertanda tersebut tidak baik. Apa kira-kira yang akan terjadi, imajinasiku tak dapat menerka. Aku sangat resah dan bingung. Meskipun aku laki-laki, namun kesensitifan perasaanku seperti perempuan. Itu yang ibu pernah bilang padaku. Karena itu, meskipun secara formal beliau hanya memiliki anak lak-laki namun merasa juga memiliki anak perempuan lantaran kehalusan perasaanku ini. Meskipun hampir 6 tahun lebih aku hidup di pondok, namun pesan orantua yang sering kusebut mitos ini selalu melengkapi kehidupanku. Aku percaya ini adalah bid’ah dan termasuk syirik sugro atau syirik kecil, namun faktanya sampai sekarang belum dapat kuhilangkan. Layaknya butiran pasir di pantai yang terus terombang-ambing, hatikupun demikian. Ibu selalu berpesan bahwa “Orang Jawa itu Jawabe jadi jangan ngilangi jawane. Di eling terus yo Le. Ibu pancen wong bodho, mulo ibu pengen kowe iso pinter. Akeh sing wis pinter trus lali ro jawane. Jare kolotan ra ngikuti jaman.” Awalnya aku menganggap itu sebagai wejangan biasa yang seperti rasa sambal, mudah merasakan pedas tapi mudah juga hilang dari lidah. Pihak pondok juga selalu menekankan untuk tidak berbuat syirik sekecil apapun. Terutama bagi orang Jawa yang masih sangat kental kepercayan animismenya. Lulusan Mualimin harus dapat memberi wawasan tepat guna dan tidak menyakiti. Ternyata toleransi yang kuhadirkan dalam keluarga membuat kepercayaanku ikut haluan. Hal-hal semacam ini dapat kuyakini dengan taraf cukup kuat. Wallahu a’lam. Toh santri juga manusia. Sampai dirumah aku melihat sesuatu yang ganjil. Ruang tamu terlihat sangat berantakan, padahal jelas sudah kurapikan tadi. Dengan seksama kuperhatikan tiap sudut ruang, dan ku panggil nama Lek Mira dengan lantang beberapa kali. Tiba-tiba terdengar suara gelas atau semacamnya pecah. Mungkinkah Lek Mira sudah pulang kemudian kaget mendengar suaraku? Tak mungkin, karena sejak tadi motorku ada didepan rumah. Tentu Lek Mira tahu aku sudah pulang. Tapi mengapa tidak ada sepeda motor lain didepan rumah? Kujelajahi tiap ruang. Sampai kutertarik untuk segera memasuki kamar Lek Mira. “Kha..li..q..!!! Aaa..ku. Tak be..r..sssaalah… Ini kk..kecelaaa..kaan SU..U..NGGUH!!!” Aku sangat kaget dan tercengang. Aku melihat darah menggenang diruangan ini dengan mendapati Lek Mira memegangi gunting yang penuh darah. Kulihat Lek Mira sangat gugup dan penuh keringat. Apa arti semua ini. Mengapa Nurdin bisa mati dengan cara mengenaskan seperti ini. Dan kenapa aku yang harus melihat endingnya. Mengapa aku tidak melihat dari awal supaya dan dapat kucoba untuk menghentikan semua ini. Atau apalah skenarionya. Aku hanya mendapati diriku sebagai peran pelengkap yang cukup mudah, yakni hanya sebagai saksi palsu karna tak dapat melihat kejadian persisnya seperti apa. “Le..ek Mira. Apa yang sebenarnya terjadi? Ada apa ini sebenarnya?” kudekati Lek Mira dan kucoba untuk dapat mencri informasi sambil menenangkannnya. “Em..boh Le.. Kejadiannya begitu cepat. Ti.. tiba-tiba.. a..aku melihat gunting.. lalu tanpa sadar langsung menusukkannya pada Nurdin. Percayalah aku tak bermaksud membunuhnya.” Jelas Lek Mira dengan suara serak. “Tapi apa motifnya?” Lek Mira diam kemudian menangis dengan histeris. Semakin lama semakin keras sambil teriak. Aku mencoba untuk menenangkan sambil terdiam, walaupun sebenarnya banyak sekali sejumlah pertanyaan untuknya. Mungkin diam sejenak jauh lebih baik daripada mengintrogasi dengan tujuan tak jelas. Kubiarkan Lek Mira menangis dan teriak sepuasnya, dengan sedikit memaksa aku memapah Lek Mira untuk berbaring ditempat tidur meskipun air matanya mengalir cukup deras. Kubersihkan tangannya dari darah. Kemudian kuambil gunting dari tangannya. “Khaliq. Apa yang kau lakukan!” tiba-tiba suara lantang terdengar dari balik badanku. Kemudian aku menengoknya. Aku melihat Pak RT sudah dibelakangku. “Innalilahi wa innailaihi rajiun. Kowe ki anak santri, bisa-bisanya berbuat kaya gini.” “Tunggu dulu Pak, aku jelasin. Beg..” “Sudah. Tak perlu. Penjelasan di kantor polisi wae.” Tanpa banyak bicara kuturuti saja keinginan Pak RT. Toh aku tidak bersalah. Beliau mulai mengotak-atik ponselnya. Bicara sebentar kemudian segera ditutup, dengan isyarat mata Pak RT mengajakku untuk merawat jenazah Nurdin. Satu per satu warga mulai berdatangan. Entah info dari mana, yang namanya desa memang mudah menyampaikan berita lewat udara. “Khaliq-lah yang telah membunuhnya… Khaliq-lah yang telah membunuhnya… Khaliq-lah yang telah membunuhnya… Khaliq-lah yang telah membunuhnya…” berulang-ulang aku mendengar Lek Mira mengatakannya. Apa maksud semua ini? Kenapa justru aku jadi tersangka disini? Bukankah aku justru jadi korban disini? Korban fitnah yang sangat kejam. “Sebentar lagi polisi datang. Lebih baik segera amankan Khaliq.” Ujar Pak RT pada beberapa warganya. “Tidak usah khawatir Pak. Aku tidak akan melarikan diri. Toh aku juga tak bersalah.” Ujarku menimpali. Setelah bicara seperti itu bnyak pertanyan menghujat padaku. Bapak-bapak, ibu-ibu, Kakek, Nenek, Anak-anak semua mencercaku dengan segudang pertanyaan. Semakin lama semakin sesak di dadaku. “Sebenarnya ada apa to Le?” “Jare kowe sing mateni yo?” “Jane.. piye to?” “&&@++*#?” “@@^$?” “…………….?” Kerumunan warga yang menanyaiku membuatku jadi GILA. --sekian-- Selengkapnya...

71 SENJATA

Apakah kau tahu apa yang layak untuk berjuang? Ketika itu tak pantas dipertahankan Apakah mengambil napas lalu pergi kau merasa terik Apakah nyeri menimbang kebanggaan? dan kau mencari tempat untuk bersembunyi Apakah patah hatimu dalam? Sampai berada di reruntuhan Satu, 71 senjata Meletakkan senjata Menyerah pada pertarungan Satu, 71 senjata Buang senjatamu ke langit, Kau dan aku Ketika kau berada di ujung jalan dan kau kehilangan kontrol dan pikiran telah mengambil jalan tol Ketika pikiran melanggar semangat jiwa Iman berjalan di atas pecahan kaca kemudian mabuk berliku tak ada yang pernah dibangun untuk terakhir kau berada di reruntuhan. Satu, 71 senjata Meletakkan senjata Menyerah pada pertarungan Satu, 71 senjata Buang senjatamu ke langit, Kau dan aku Apakah kau mencoba hidup sendiri Ketika kau membakar rumah dan rumah dan hati Apakah kau berdiri terlalu dekat dengan api? Seperti seorang pendusta mencari pengampunan dari batu Ketika tiba waktunya untuk tinggal dan membiarkan mati kau tak bisa mencoba lagi Sesuatu di dalam hati tlah mati Kau berada di reruntuhan Satu, 71 senjata Meletakkan senjata Menyerah pada pertarungan Satu, 71 senjata Buang senjatamu ke langit Buang senjatamu ke langit Kau dan aku. Jogja, 12 Nov 2010 Selengkapnya...

Gerakan Kematian

Seperti budak bersama sapi, lembu dan kerbau

Berpacu pada ranah kematian yang sudah mendekat

Jiwa-jiwa penghianat dan pendosa menjadi Gujarat,

Inikah kematian yang Kau janjikan?

Salam kematian,,,

Selengkapnya...

Hujan Batu Lalu

Ingatkah kau? saat rindu membatu hujan bulan itu saksi bisu sendu

Aku terpaku selayak batu dengan hujan batu kali itu perih, seribu luka tergores
membuka sakit, lama racun ribuan genderang kala itu membajak hatiku milyaran bintang tiada terangi gelap hati semilu
sendu Yogyakarta, 22 Mei 2009
Selengkapnya...

IDOLA

wajahnya berseri,
misteri
menatap
aku begini
kau begitu
Mungkinkah?
Ah, ya hanya luka
Kadang agamis
Kadang komunis
mau apa kau kumis
bikin muak bibir tipis
Jauh.
Yogyakarta, 26 Mei 2009
Selengkapnya...

KEBEBASAN

Aku terkurung diantara perisai
Terbingkai dinding membiru dan membatu kaku
Antara perahu karet dan kata-kata tua
Aku berjalan melawan arus
Bermandi peluh nan berdarah
memerah
Sejiwa dengan asa bergejolak, tetap
Antara ada dan tiada
Aku ingin bersuara
Terhenyak diantara gunung yang melotot
Terpental
Liar.
Selengkapnya...